Kamis, 10 September 2009

Renungan Pemberdayaan W/KI GMIM
Edisi Oktober – November 2008.
Minggu ke-4, 23 November 2008

Ayub 9 : 1-20 : Kebenaran hanya ada pada Allah

Pada akhir-akhir ini, banyak kejadian dan peristiwa yang menambah kerumitan dari permasalahan bangsa kita. Peristiwa bencana ‘alam’ terus terjadi yang makin memiskinkan sumberdaya manusia dan alam. Tentang bencana ini, dapat kita cari penyebabnya. Ada dua kemungkinan besar. Pertama, manusia sendiri yang menyebabkannya atau karena ulah manusia seperti a.l. membabat hutan, tidak awas dengan api. Kedua, peristiwa alam seperti gempa bumi, gunung meletus. Jelaslah bagi kita, apa yang hendak kita lakukan dengan dua penyebab ini. Pertama, harus ada program menanam kembali pohon-pohon di area hutan, penghijauan di sekitar kampung, waspada dengan listrik dan kompor. Kedua, kita bergumul dalam doa agar tidak ada korban manusia dan ada kesempatan untuk membangun kembali. Nah… kalau bencana seperti ini yang biasa kita kenal dengan bencana alam, semua kita diajak untuk berbenah diri di antara kita, dengan alam dan dengan Tuhan.

Di lain pihak, ada peristiwa/kejadian yang terjadi karena permasalahan kemanusiaan di antara kita. Hal ini kita kenal dengan istilah permasalahan sosial yang dapat juga menjadi penyakit masyarakat seperti terjadinya perseteruan antar anak sekolah, antar kampung, antar kelompok kepentingan. Terjadinya dualisme, perpisahan bahkan perpecahan dan penghilangan. Dalam situasi seperti ini, setiap orang yang terlibat, dapat saling membenarkan dan saling menyalahkan. Dari mana akar masalahnya, sering sulit untuk ditemukan, apalagi bila sudah terlalu lama permasalahan itu tak kunjung diselesaikan. Bagaimana seharusnya kita menyelesaikannya, marilah kita simak baik-baik akan pengalaman hidup Ayub, khususnya pembacaan kita tadi.

Ayub dalam pergumulan hidupnya yang terpuruk dalam segala segi, ia bergulat dengan kediriannya. Meskipun sahabat-sahabatnya mempedulikan dia dengan berbagai nasihat dan ajakan untuk mempersalahkan Tuhan, namun Ia tetap berpendirian teguh. Keteguhan pendiriannya ialah ia tidak mudah dirayu bahkan dihasut oleh sahabat-sahabatnya itu. Ia punya pemahaman tentang apa itu hidup. Untuk itu ia mempertanyakan dan membawa kediriannya di hadapan Tuhan Allah. Dari perenungan dan pergulatan batinnya melahirkan semacam pemahaman dan pengakuan iman tentang siapa Tuhan itu.

Ayat 4-10 menjelaskan siapa Tuhan menurut Ayub. Allah itu bijak dan kuat. Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Gunung, bumi, langit, matahari, bintang, gelombang laut ada dalam tangan kuasa kasih-Nya. Ayat 10: Tuhan melakukan perbuatan- perbuatan besar yang tidak terduga dan keajaiban-keajaiban yang tidak terbilang banyaknya. Ayat 11- 14 mengemukakan tentang cara kerja-Nya yang tak terlihat, sehingga tak mungkin manusia memberi respon entah positif apalagi negatif atau membantahnya. Ayat 15- 20 merupakan kesimpulan dari pemahaman dan pengakuan iman Ayub. Bahwa apa yang dianggap benar oleh manusia, belum tentu itu benar bagi Dia. Paham dan pengakuan ini yang mengantar cerita tentang penderitaan Ayub berkepanjangan sampai-sampai hampir habis. Tetapi, syukurlah cerita tentang Ayub berakhir dengan dikembalikan-Nya kekayaan dengan segala kebahagiaan kepadanya.

Dari bacaan kita ini, kita dapat belajar tentang bagaimana mengatasi masalah bila itu datang menimpa kita. Memang, kalau masalah yang kita alami hanyalah masalah pribadi, kita dapat mengatasinya seperti Ayub. Tetapi, bila masalah kita merupakan masalah antar pribadi dan kelompok, maka norma-norma masyarakat seperti yang tertuang dalam Undang-Undang atau Peraturan-Peraturan wajib dilalui. Lalu, apa artinya paham dan pengakuan Ayub ini? Paham dan pengakuan Ayub menjadi roh atau semangat atau jiwa dalam menjalani norma-norma umum itu. Hal seperti ini yang sering terlontar dalam benak dan mulut kita yaitu ‘mari torang cari keadilan dan kebenaran menurut ketentuan negara. Tetapi, biarlah kehendak Tuhan yang jadi, bukan kehendak kami’. Mungkin memang kita benar, tetapi Tuhan mempunyai cara-Nya sendiri untuk menyatakan kebenaran itu. Mungkin memang jalan menuju kebenaran harus diuji dulu : apakah benar kita benar. Untuk itu, belajarlah dari Ayub yang tetap teguh dalam pendirian di tengah penderitaannya, tetap setia kepada Tuhan, tetap menghormati dan memuliakan Tuhan.
Amin.


Pertanyaan untuk diskusi :
Ceritakanlah pengalaman ibu tentang pergumulan berat yang tetap membuat ibu setia dan kuat mengikuti Tuhan.
Pernahkah ibu tahu tentang seseorang yang karena pergumulan berat yang akhirnya mengantar dia menjadi tidak setia dan tidak kuat mengikut Tuhan ? Kira-kira apa alasannya?
Apa artinya bagi komisi Wanita/Kaum Ibu tentang tema renungan ini : Kebenaran hanya ada pada Allah ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar