Rabu, 30 November 2011

Mazmur 146 :1-10

Renungan untuk BAKI PGI 2012
Minggu Adven 4, 23 Des 2012
Mazmur 146 : 1 – 10
Menantikan Tuhan adalah memperjuangkan keadilan-Nya.
Oleh : Pdt. Dr. Karolina Augustien Kaunang.
Menantikan Tuhan tidak berarti Tuhan baru akan datang. Menantikan-Nya adalah suatu tindakan responsif atas akta kelahiran-Nya. Sebab Dia yang telah lahir terus berkerja sampai sekarang menuju kegenapan-Nya. Dalam pengertian ini kita menghayati minggu adven 4 ini yang sisa dua hari lagi tiba hari Natal. Jadi menanti berarti aktif melakukan sesuatu. Di sini tidak berlaku ungkapan : pekerjaan yang paling membosankan adalah menanti/menunggu. Menanti dengan aktif membahagiakan sebab sudah jelas titik berangkatnya dan untuk apa serta hendak kemana atau sampai di mana.
Pembacaan Alkitab ini adalah salah satu dasar dari hal menantikan Tuhan dengan tindakan nyata. Ayat 1-2 adalah hakikat orang percaya yaitu memuji dan memuliakan Tuhan selama ia hidup. Sebab Dia yang menjadikan dunia ini dan yang tetap setia untuk selama-lamanya (ayat 6,10). Dan dalam ayat 3-5 ada nasihat agar hanya mempercayakan hidup orang percaya dan senantiasa berharap kepada Tuhan sumber keselamatan. Orang yang demikian adalah orang yang berbahagia. Kesetiaan Tuhan itu menyangkut penegakan keadilan bagi mereka yang diperas, yang lapar, yang terpenjara, yang buta, yang dizalimi, yang benar, orang asing, anak yatim dan janda. Sedangkan jalan orang fasik (tidak pedulikan kehendak Tuhan, kelakuan buruk, jahat) dibengkokkan-Nya (ayat 7-9).
Bila orang percaya mengatakan bahwa kehidupannya adalah berdasarkan kehendak Tuhan atau mengikuti pola pelayanan Tuhan, maka pembacaan ini terutama ayat 7-9 harus menjadi tugasnya juga. Memuji dan memuliakan Tuhan dalam segala jenis ibadah bukanlah terpenting apalagi satu-satunya cara. Ibadah-ibadah liturgikal-seremonial hanyalah salah satu cara. Cara ini terlalu sering dilakukan orang percaya, dan melupakan cara yang lain. Yang lebih parah lagi bila isi Firman dalam ibadah itu seperti syair dalam nyanyian, doa dan khotbah/renungan hanya tertuju pada masalah-masalah kebatinan dan kerohanian sempit dan individual. Atau sekedar pemuasan keinginan batiniah seorang. Padahal ibadah-ibadah liturgikal-seremonial harus menjadi salah satu pangkal bertolak maju melakukan perubahan dan pembaharuan budi dengan melakukan yang benar, adil, jujur dalam hidup pribadi, keluarga dan dengan serta untuk semua orang.
Menantikan Tuhan Allah pada masa kini tidak bisa tidak yaitu memperjuangkan keadilan menurut kehendak-Nya, yaitu berpihak kepada mereka yang kecil, miskin, terpinggir, tertindas, dikerasi secara struktural. Siapapun yang menjadi korban baik oleh pribadi-pribadi maupun oleh lembaga keumatan (tak terkecuali oleh lembaga agama/gereja) dan lembaga negara/pemerintah harus menjadi sasaran dari perjuangan ini.
Terlalu kentara dalam di minggu-minggu adven, orang kristen menjadi lebih ‘manusiawi’ dengan kegiatan ‘berbagi kasih’ dengan anak-anak yatim piatu, orang miskin, orang jompo. Kegiatan ini bahkan sampai disiarkan melalui media massa dan elektronik. Kegiatan seperti ini belum menjadi program rutin sebagai tanda solidaritas yang berkelanjutan dan bahkan sampai pada upaya menemukan akar persoalannya untuk ditangani secara komprehensif. Terlalu sering, di saat-saat menjelang hari Natal, terjadi percekcokan karena uang tabungan, uang paket, beli pakaian sepatu, perabot rumah tangga, kumpul sumbangan. Akibatnya minggu adven sebagai saat-saat merenung kembali (refleksi) dan bertindak (aksi) untuk keadilan dan kebenaran terabaikan.
Tinggal dua hari lagi kita akan merayakan Natal pertama dan masih ada waktu Tuhan bagi kita menanti kedatangan-Nya kedua kali. Mari kita memperjuangkan hidup kita pada umumnya yang masih berada dalam kesusahan, kemiskinan, ketidakadilan hukum dan hak asasi pada satu pihak, dan banyak pula yang terlilit oleh penyakit masyarakat, dibelenggu oleh nikmatnya kuasa, jabatan dan uang bahkan seks.
Perayaan Natal akan menjadi syaloom bagi kita bersama bila keadilan terus menjadi visi kita dan kita terus bermisi yakni berjuang membela yang adil dan benar sampai Tuhan datang kembali. Selamat merayakan Natal Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat dunia. Amin

Mazmur 146 :1-10

Renungan untuk BAKI PGI 2012
Minggu Adven 4, 23 Des 2012
Mazmur 146 : 1 – 10
Menantikan Tuhan adalah memperjuangkan keadilan-Nya.
Oleh : Pdt. Dr. Karolina Augustien Kaunang.
Menantikan Tuhan tidak berarti Tuhan baru akan datang. Menantikan-Nya adalah suatu tindakan responsif atas akta kelahiran-Nya. Sebab Dia yang telah lahir terus berkerja sampai sekarang menuju kegenapan-Nya. Dalam pengertian ini kita menghayati minggu adven 4 ini yang sisa dua hari lagi tiba hari Natal. Jadi menanti berarti aktif melakukan sesuatu. Di sini tidak berlaku ungkapan : pekerjaan yang paling membosankan adalah menanti/menunggu. Menanti dengan aktif membahagiakan sebab sudah jelas titik berangkatnya dan untuk apa serta hendak kemana atau sampai di mana.
Pembacaan Alkitab ini adalah salah satu dasar dari hal menantikan Tuhan dengan tindakan nyata. Ayat 1-2 adalah hakikat orang percaya yaitu memuji dan memuliakan Tuhan selama ia hidup. Sebab Dia yang menjadikan dunia ini dan yang tetap setia untuk selama-lamanya (ayat 6,10). Dan dalam ayat 3-5 ada nasihat agar hanya mempercayakan hidup orang percaya dan senantiasa berharap kepada Tuhan sumber keselamatan. Orang yang demikian adalah orang yang berbahagia. Kesetiaan Tuhan itu menyangkut penegakan keadilan bagi mereka yang diperas, yang lapar, yang terpenjara, yang buta, yang dizalimi, yang benar, orang asing, anak yatim dan janda. Sedangkan jalan orang fasik (tidak pedulikan kehendak Tuhan, kelakuan buruk, jahat) dibengkokkan-Nya (ayat 7-9).
Bila orang percaya mengatakan bahwa kehidupannya adalah berdasarkan kehendak Tuhan atau mengikuti pola pelayanan Tuhan, maka pembacaan ini terutama ayat 7-9 harus menjadi tugasnya juga. Memuji dan memuliakan Tuhan dalam segala jenis ibadah bukanlah terpenting apalagi satu-satunya cara. Ibadah-ibadah liturgikal-seremonial hanyalah salah satu cara. Cara ini terlalu sering dilakukan orang percaya, dan melupakan cara yang lain. Yang lebih parah lagi bila isi Firman dalam ibadah itu seperti syair dalam nyanyian, doa dan khotbah/renungan hanya tertuju pada masalah-masalah kebatinan dan kerohanian sempit dan individual. Atau sekedar pemuasan keinginan batiniah seorang. Padahal ibadah-ibadah liturgikal-seremonial harus menjadi salah satu pangkal bertolak maju melakukan perubahan dan pembaharuan budi dengan melakukan yang benar, adil, jujur dalam hidup pribadi, keluarga dan dengan serta untuk semua orang.
Menantikan Tuhan Allah pada masa kini tidak bisa tidak yaitu memperjuangkan keadilan menurut kehendak-Nya, yaitu berpihak kepada mereka yang kecil, miskin, terpinggir, tertindas, dikerasi secara struktural. Siapapun yang menjadi korban baik oleh pribadi-pribadi maupun oleh lembaga keumatan (tak terkecuali oleh lembaga agama/gereja) dan lembaga negara/pemerintah harus menjadi sasaran dari perjuangan ini.
Terlalu kentara dalam di minggu-minggu adven, orang kristen menjadi lebih ‘manusiawi’ dengan kegiatan ‘berbagi kasih’ dengan anak-anak yatim piatu, orang miskin, orang jompo. Kegiatan ini bahkan sampai disiarkan melalui media massa dan elektronik. Kegiatan seperti ini belum menjadi program rutin sebagai tanda solidaritas yang berkelanjutan dan bahkan sampai pada upaya menemukan akar persoalannya untuk ditangani secara komprehensif. Terlalu sering, di saat-saat menjelang hari Natal, terjadi percekcokan karena uang tabungan, uang paket, beli pakaian sepatu, perabot rumah tangga, kumpul sumbangan. Akibatnya minggu adven sebagai saat-saat merenung kembali (refleksi) dan bertindak (aksi) untuk keadilan dan kebenaran terabaikan.
Tinggal dua hari lagi kita akan merayakan Natal pertama dan masih ada waktu Tuhan bagi kita menanti kedatangan-Nya kedua kali. Mari kita memperjuangkan hidup kita pada umumnya yang masih berada dalam kesusahan, kemiskinan, ketidakadilan hukum dan hak asasi pada satu pihak, dan banyak pula yang terlilit oleh penyakit masyarakat, dibelenggu oleh nikmatnya kuasa, jabatan dan uang bahkan seks.
Perayaan Natal akan menjadi syaloom bagi kita bersama bila keadilan terus menjadi visi kita dan kita terus bermisi yakni berjuang membela yang adil dan benar sampai Tuhan datang kembali. Selamat merayakan Natal Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat dunia. Amin

Yohanes 11:1-45

Renungan untuk BAKI 2011
Minggu Pra Paskah V, 10 April 2011


Yohanes 11:1-45 Penyakit dan Kematian Bukanlah Akhir Perjuangan Iman.

Di minggu pra paskah ini, kita membaca Alkitab tentang Lazarus dibangkitkan. Sepertinya pemilihan bacaan ini tidak bertindih tepat dengan kalender gerejawi atau tahun gerejawi. Memang bila secara sepintas apalagi hanya terfokus pada peristiwa kebangkitan Lazarus, maka ketidak-relevanan bacaan di minggu ini cukup beralasan.
Namun, bila kita menelusuri ayat demi ayat dari 44 ayat ini, maka ada hal yang berkaitan dengan maksud minggu pra paskah yaitu menghayati arti penderitaan Yesus dan penderitaan orang beriman kepada-Nya.

Meski bagian Alkitab ini diberi judul Lazarus dibangkitkan, namun sesungguhnya yang paling banyak dibicarakan di sini adalah soal penyakit Lazarus. Yesus mengatakan bahwa bukan penyakit yang membawa kematian yang ditekankan, melainkan “penyakit itu menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” (ayat 4). Kematian Lazarus membuat rasa kehilangan yang mendalam bagi Maria dan Marta. Bahkan Yesus sendiri turut menyaksikan Lazarus yang sedang terbaring kaku di tempat tidurnya (ayat 35). Dapat kita bayangkan kedekatan hubungan antara Yesus dan keluarga Lazarus, Marta dan Maria. Sampai-sampai Maria dan Marta begitu yakin bila Yesus ada bersama mereka pastilah saudara mereka Lazarus tidak mati. Sementara itu Yesus sebagai Tuhan tahu dengan pasti bahwa Lazarus pasti dapat hidup kembali, bahkan Yesus sempat bicara untuk mengurangi rasa putus harapan mereka dengan mengatakan bahwa Lazarus hanyalah tidur. Sebab Yesus adalah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan hidup walaupun sudah mati” (ayat 25).

Dari cerita ini, dapat ditarik beberapa butir refleksi :
1. Penyakit menyatakan kemuliaan Allah. Artinya setiap penyakit yang diderita oleh seseorang, pastilah Tuhan mengetahui dan ada maksudnya dan manfaatnya bagi diri sendiri dan karena itu bagi kemuliaan Tuhan. Dalam banyak hal penyakit kita hindari, kita berdoa dan berusaha agar kita tetap sehat dan jangan sakit. Tetapi bila penyakit itu datang, pasti ada maksud Tuhan bagi kita. Sama halnya dengan penderitaan. Tidak ada seorangpun yang menginginkan hidupna menderita, tidak ada seorangpun yang berdoa agar ia menderita. Tetapi, bila penderitaan itu datang menimpa hidup kita, baik itu karena ulah kita sendiri maupun karena ulah orang lain, pastilah Tuhan mempunyai maksud. Ada ungkapan “Tuhan tidak akan memberi cobaan yang melampaui kemampuan kita”.
2. Merasa kehilangan dan menangis atas kematian seseorang yang kita kasihi adalah suatu kewajaran alias manusiawi. Namun di tengah suasana ini, janganlah berputus asa. Selalu berpengharapan bahwa ada masa depan. Memang pada jaman sekarang ini adalah tidak mungkin mengharapkan bangkitnya seseorang yang sudah mati. Namun hal yang pasti ialah pengharapan di tengah kenyataan kematian ada kehidupan bila membawa segala keluh kesah dan pergumulan ini kepada Tuhan. Ia paling tahu apa yang kita harapkan dan yang kita butuhkan. Kedekatan dengan Tuhan akan teralami saat kita selalu berdialog dengan Dia melalui doa.
3. Peran perempuan untuk kehidupan sangat signifikan. Meski keberadaan dua perempuan di sini adalah suatu kebetulan, namun tercatatnya dua nama ini menyatakan bahwa peran perempuan dalam hal perhatian dan pengharapan akan kehidupan dalam tangan Tuhan sangat berarti. Bahkan mereka berhasil menggugah rasa kedekatan Yesus dengan keluarga mereka. Perilaku mereka ini adalah tulus bukan dibuat-buat, bukan untuk cari muka agar dapat perhatian. Persekutuan dan kedekatan yang sudah terjalin lama dan berkelanjutan menjadi dasar dari pengharapan mereka akan kehidupan dari Tuhan Yesus.
4. Kematian seseorang bukanlah akhir dari segala perjuangan orang beriman. Sebab kita mempunyai Tuhan Yesus yang adalah kebangkitan dan hidup. Barangsiapa yang percaya kepada-Nya, ia akan hidup walaupun sudah mati. Mari kita kutip juga pengakuan iman yang biasanya kita ucapkan dalam ibadah minggu di gedung gereja berbunyi antara lain “… Aku percaya kepada Roh Kudus; Gereja yang kudus dan am; persekutuan orang kudus; pengampunan dosa; kebangkitan daging, dan hidup yang kekal.”
Keempat butir refleksi ini menjadi bahan perenungan kita di minggu pra paskah V ini. Intinya : penyakit dan kematian bukanlah kata akhir dari kehidupan ini. Di jaman yang makin canggih ini, belum semua orang memandang dan menjadi bagian hidupnya serta kelakuannya sehari-hari tentang hidup adalah perjuangan yang harus dimaknai dengan hal-hal yang benar, adil, jujur, baik dan bermartabat. Sekalipun harus menderita, tetapi kebenaran, keadilan, kekujuran, kebaikan dan hidup bermartabat harus tetap dikedepankan menjadi jalan hidup kita. Amin

Yohanes 9 : 1-41

Renungan di Minggu Pra Paskah IV, 3 April 2011
Yohanes 9:1-41

Habis Gelap Terbitlah Terang dari dan di dalam Yesus

Salah satu tugas Gereja atau gereja-gereja ialah menyembuhkan bermacam-macam penyakit. Apapun jenis dan macam bahkan rupa penyakit itu (jasmani dan rohani) sama-sama menjadi perhatian Gereja yang adalah kawan sekerja Tuhan Allah di muka bumi ini sekarang ini. Gereja tidak hanya mengurusi hal-hal rohani yang tradisional seperti melayani ibadah seremonial dan pembinaan hal-hal menyangkut ajaran klasik dengan teologi yang belum transformatif kontekstual. Sementara itu masalah-masalah penyakit kontemporer seperti HIV/AIDS dan masalah-masalah sosial lainnya seperti trafficing dan kekerasan dalam rumah tangga, belum dilihat serius bahkan ada yang belum melihatnya sama sekali sebagai hal-hal yang harus segera ditanganinya. Tentu Gereja tidak dapat berjalan sendiri tanpa berkoordinasi dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait.

Syukurlah, di tengah kebelum-seriusan bahkan ketidakpeduliaan tadi, PGI bersama-sama dengan beberapa anggotanya (gereja-gereja) terus mensosialisasikan keberpihakannya kepada korban HIV/AIDS. Ini berarti sudah mulai terjadi perubahan paradigma bergereja yaitu tidak sebatas mengurusi atau melayani hal-hal ‘rohani’ saja. Bahkan lebih dari padanya, ada perubahan prinsip teologis dalam melihat kenyataan penyakit bukan sebagai akibat dari dosa (melawan kehendak Allah) dan karenanya bukan sebagai kutuk.

Kenyataan masa kini di atas, dapatlah kita bandingkan dengan kenyataan lain seperti yang kita baca dalam bagian Alkitab ini. Cerita tentang orang buta sejak lahirnya cukup panjang diuraikan. Ada pandangan pada masa itu yang menghubungkan antara dosa dan orang yang lahir buta. “Siapa yang berbuat dosa, orang buta itu sendiri atau orang tuanya?” demikian pertanyaan yang dilontarkan kepada Yesus oleh para murid-Nya. Jawaban Yesus di luar dugaan. Buta sejak lahir tidak ada kaitannya dengan keberdosaan seseorang. Hal ini terjadi karena kehendak atau pekerjaan/karya Allah bagi anak itu terutama dan tentu juga bagi orang tuanya. Oleh karena itu, maka atas kehendak –Nya pula maka orang yang buta ini kemudian dapat melihat. Cara Allah memelekkan mata orang ini cukup jelas dituliskan. Kenyataan buta menjadi tidak buta bukan dengan cara berdoa semalam suntuk atau melalui hipnotis dengan label ‘dunamis’ seperti yang dipraktekkan dalam kegiatan-kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani, melainkan dengan pengobatan alamiah : mengaduk ludah dengan tanah, mengoleskannya pada mata orang buta, kemudian orang itu disuruh untuk membasuh dirinya ke kolam Siloam. Sesudah itu, matanya terbuka. Jadi Yesus sendiri menggunakan alam ciptaan sebagai sarana menciptakan suatu hal yang sama sekali baru : dari tidak melihat dapat melihat, dari gelap menjadi terang, dari suasana lama ke suasana baru, dari ketidakadaan harapan berpengharapan, dari hidup masa bodoh menjadi bergairah. Pendek kata Yesus berkuasa untuk mengubah apa yang tidak dapat diubah oleh manusia, Yesus memungkinkan apa yang tidak mungkin. Yesus melakukan ini pada hari Sabat, yang oleh masyarakat beragama pada waktu itu tidak membolehkan orang berkerja termasuk menyembuhkan. Dia itu pemilik atas segala yang tercipta dan terus menerus mencipta : Ia masih terus bekerja sampai sekarang. Dalam Dia hidup manusia yang ‘terpuruk’ oleh masyarakatnya sendiri diubah menjadi hidup yang berfungsi dan berarti serta menjadi berkat. Bagi Yesus berbuat baik apalagi memelekkan mata orang buta sejak lahir dapat dilakukan kapan saja termasuk pada hari Sabat. Tentu, kita semua teringat akan ungkapan Ia itu “Tuhan atas hari Sabat.”

Segi lain yang menarik untuk kita ingat bahwa Tuhan tidak meminta orang percaya dulu baru ‘mujizat’ itu terjadi, melainkan sebaliknya sesudah terjadi mujizat itu baru kemudian Yesus bertanya:”Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Orang buta itu belum tahu sebelumnya siapa yang memelekkan matanya. Nanti sesudah terjadi dialog antara keduanya, maka semua menjadi jelas. “Aku percaya, Tuhan!”, demikian jawabnya. Orang yang matanya tidak buta lagi mengenal dan menjadi percaya kepada si pembuat mujizat itu. Dialah Yesus.

Di minggu pra Paskah IV ini, kita mengingat Yesus yang menderita sengsara karena a.l. ada salah pandang dari masyarakat beragama pada masa itu tentang keberadaan dan karya Yesus. Dalam iman kita meyakini bahwa kesengsaraan-Nya membawa keselamatan kepada semua orang bahkan semua ciptaan. Gereja diingatkan akan visi keselamatan dari dan dalam Yesus yang menderita untuk kemudian dilanjutkan/dilakukan (misi) pertama-tama bagi mereka yang mengalami penderitaan dan yang menjadi korban kejahatan zaman. Habis gelap terbitlah terang dari dan di dalam Yesus, Juruselamat dunia. Amin