Renungan
Pemberdayaan W/KI GMIM
Edisi
Oktober-November 2009
1
November 2009
I
Samuel 8: 1- 22.
Latar
Belakang Naskah
Isi pokok kitab I
Samuel ialah Samuel Mempersiapkan Kerajaan. Siapakah Samuel ? Ia adalah tokoh
peralihan dari zaman hakim-hakim ke zaman kerajaan. Ia pernah mengalahkan
orang-orang Filistin di Mizpa, bukan dengan menghunus pedang tetapi dengan doa.
Ia juga digambarkan sebagai seorang nabi dan pelihat. Ia secara rutin
mempersembahkan korban dan berpakaian imam seolah-olah ia seorang imam, dan
sebagai seorang hakim ia juga menjadi pemutus perkara dan perselisihan pada
semua suku. Pendek kata, ia melakukan berbagai tugas yang diperlukan dalam
komunitas Israel. Dalam hal ini, ia hampir serupa dengan tokoh Musa, apalagi
menjelang akhir hidupnya ia menyampaikan wejangan perpisahan dan wasiat rohani
(pasal 12).
Ada dua persoalan yang hendak dijawab dalam kitab
ini, yaitu pertama, siapakah yang akan menjadi raja? Kedua, siapakah yang akan menggantikan raja itu?
Bagian alkitab
yang kita baca hari ini menceritakan tentang keinginan umat Isreal untuk
memperoleh raja yaitu dengan memohon kepada Samuel agar ia mengangkat raja bagi
mereka bukan dari anak-anaknya yang berprilaku buruk itu.
Khotbah
: Jabatan dan Demokrasi
Ada ungkapan
yang sudah sangat lama kita tahu dan yang sampai sekarang masih kita dengar dan
atau pakai yaitu : ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Tanpa kita ingat
bahwa bila pohon berada di tanah yang miring apalagi bila di bawahnya ada
aliran sungai, maka pastilah buah yang jatuh dari pohon akan ‘pergi’ jauh-jauh
sekali. Nah… ayat 1-3 secara khusus menceritakan fakta bahwa anak-anak Samuel
yaitu Yoel dan Abia tidak hidup seperti ayahnya. Mereka berdua yang diangkat
Samuel menjadi hakin atas orang-orang Israel ternyata tidak hidup seperti ayah
mereka. Sebaliknya mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan
keadilan. Padahal tugas seorang hakim pada waktu itu ialah melayani umat Tuhan
dengan benar dan adil. Jadi, sudah jelas sejak dahulu kala, ungkapan di atas
tidak sepenuhnya benar. Begitu juga pada masakini kita mendengar, menyaksikan
bahkan mungkin mengalami sendiri bahwa ada orangtua yang kelakuannya tidak
baik, tetapi anaknya menjadi orang yang baik bahkan sangat baik.
Kembali kepada
maksud ayat 1-3 tadi. Karena anak-anak-anak Samuel tidak dapat melanjutkan
tugas dari ayah mereka sebagai Hakim atas bangsa Israel, maka para tua-tua
meminta Samuel untuk mengangkat seorang raja. Alasan mereka ialah agar ada yang
memerintah mereka seperti yang terjadi pada bangsa-bangsa lain. Permintaan
mereka ini disampaikan oleh Samuel kepada Tuhan. Tuhan meresponnya dengan
mengatakan Samuel hendaknya mendengarkan
permintaan itu, memperingatkan dan memberitahu mereka tentang hak raja. Di sini
dimaksudkan agar mereka tahu akan segala konsekuensi memiliki seorang raja. Ada
hak raja dan ada kewajiban rakyat/umat seperti yang tertuang dalam ayat 11-18.
Adanya hak raja berarti berkurangnya hak rakyat yaitu rakyat harus merelakan
sebagian miliknya untuk kebutuhan hidup sang raja dan kerajaannya. Rakyat harus
memberi apa yang menjadi hak raja karena raja mempunyai kewajiban terhadap para
pegawainya. Hak raja yang mengharuskan rakyat menyerahkan apa yang ada padanya
bahkan sampai menjadi budak sekalipun, ternyata tidak menyurutkan niat mereka
untuk mendesak Samuel agar mereka memiliki seorang raja. Akhirnya, atas firman
Tuhan, permintaan mereka dikabulkan.
Nah … ada
beberapa hal yang menjadi bahan pelajaran iman bagi kita di masakini yaitu :
Pertama : jabatan
orangtua tidak serta merta dapat diwariskan kepada anak-anak. Tidak semua anak
sama baiknya dengan orangtua. Kalau memang orangtua bermaksud mewariskannya
maka haruslah dipersiapkan dengan matang dan tentu saja atas restu Tuhan.
Anak-anakpun tidak dapat menerima begitu saja ‘warisan’ itu tanpa
bertanggungjawab atas keperluan atau kepentingan atau maksud jabatan itu.
Kedua, kehendak
untuk mendapatkan seorang raja atau pemimpin bukan semata agar menjadi sama
dengan bangsa lain. Melainkan kesadaran akan tanggungjawab menjadi suatu bangsa
yang dipimpin langsung oleh seorang manusia dengan segala hak-haknya. Kesadaran
itu harus ada agar rakyat jangan seenaknya ‘berteriak’ kepada Allah bila raja
tersebut tidak melaksanakan tugasnya dengan baik atau sesuai harapan rakyat.
Ketiga, Tuhan
Allah melalui Samuel mengajarkan cara berdemokrasi yang santun. Mendengar, mengingatkan
dan memberi informasi apa adanya adalah kegiatan dan proses berdemokrasi yang
harus dikerjakan oleh seorang fasilitator. Samuel di sini bertindak sebagai perantara
umat dengan Tuhan atau sebagai fasilitator sedangkan umat/bangsa yang
memutuskan sendiri.
Keempat, Tuhan
Allah itu sangat peduli dengan segala kehendak manusia. Karena itu Ia bersedia
mendengar melalui hamba-Nya Samuel. Namun, Ia memberi wawasan agar manusia
melakukan sesuatu dengan sadar. Umat dibelajarkan untuk tidak asal minta atau
‘iko rame’.
Kiranya, kita
kaum perempuan/kaum ibu gereja dapat mengambil sikap yang berkenan kepada-Nya
bila dihadapkan pada masalah-masalah jabatan dan kuasa. Apalagi kita baru saja
selesai dengan proses pemilihan pelayan khusus tingkat jemaat. Semoga mereka
yang terpilih betul-betul menerapkan prinsip kepemimpinan demokratis
berdasarkan kehendak-Nya. Amin
Materi Diskusi
-
Mengapa ada anak yang menjadi
tidak baik atau berprilaku buruk padahal orangtuanya terkenal baik dan menjadi
panutan banyak orang ? Ceritakanlah pengalaman, pengamatan dan pendapat
ibu-ibu!
-
Ceritakanlah pengalaman ibu-ibu
tentang hal berdemokrasi dalam keluarga, gereja dan masyarakat.
Implementasi
Praktekkanlah kepemimpinan demokratis a.l.
melalui kegiatan kepanitian atau kelompok kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar