Khotbah
pada Mendiami Rumah sebagai Pastori Jemaat Kakaskasen Eben Haezer
Selasa,
4 Februari 2014
Oleh : Pdt. Karolina Augustien Kaunang
Matius 7:24-27// Lukas 6: 46-49
Saya memilih bagian
Alkitab ini dalam dua versi, yaitu versi Matius dan versi Lukas. Keduanya
berbicara tentang dua dasar. Ada dasar yang kuat, ada dasar yang tidak kuat.
Kita semua tahu tentang bangunan rumah. Fondasi musti kuat. Kalau tidak kuat
gampang rubuh dan rusak. Kalau dasar kuat, sebesar apapun angin dan banjir
tidak akan merubuhkannya atau merusakkannya atau menghanyutkannya (seperti ada
banyak rumah yang hanyut karena banjir bandang). Dua macam dasar ini
dikhotbahkan oleh Yesus di atas bukit
(Matius 5-7). Ini adalah gambaran dari hidup beriman para murid Yesus dan para
pengikut-Nya , ya…kita orang percaya/orang Kristen.
Coba kita perhatikan
kenyataan hidup kita dan di sekitar kita. Coba kita perhatikan banyaknya gedung
gereja yang mewah/megah di kampung-kampung/desa-desa terdalam sekalipun. Coba
kita perhatikan gedung-gedung gereja yang megah di tengah kota yang berdekatan
(muka, belakang, samping kiri dan kanan) rumah-rumah yang tidak standard (kita
kutip istilah ini dalam khotbah pendeta Cherly Rantung, yang bersama keluarga
Porajow-Rantung akan mendiami rumah ini). Kalau pakai ukuran pemerintah, rumah
yang tergolong miskin absolute (lantai tanah, dinding bambu, atap rumbia)
selain ada yang miskin fasilitas dasar/standard maar ada alat-alat hiburan
elektronik, masih banyak di sekitar kita. Saya sempat mengambil gambar gedung gereja
Katolik St.Ignatius di Kanaka, yang sementara dibangun, nampak besar sekali, megah,
kokoh, prestisius (bergengsi, bermartabat tinggi, berwibawa) yang berseberangan
dengan lokasi bencana banjir bandang di jemaat Maranatha Karame. Dalam FB saya
beri komentar sangat kontras.
Artinya, kita membangun
dengan dasar yang kokoh, kuat, jelas, tetapi tidak berarti menjadi prestasi
kita- kita jadi sombong, angkuh, tidak friendly dengan tetangga, menjaga jarak.
Apalagi kalau so pagar kiri kanan, muka belakang dengan beton yang tinggi
(betonisasi), wah … sangat tidak humanis. Kekokohan, kekuatan, kejelasan atas
suatu bangunan itu harusnya jadi berkat. Akan kentara dalam pergaualan,
persahabatan, kebersamaan, solidaritas (rasa setiakawan), seperti orang tua-tua
kita dulu: boleh baku minta : garam, rica, rampah-rampah, dsb.
Demikianlah dengan
rumah pendeta ini, pastori. Menjadi rumah berkat, rumah yang ramah dengan
rumah-rumah di sekitarnya, rumah yang terbuka untuk membantu, melayani. Dengan
demikian jadi nyata kehidupan beriman yang jadi berkat. Beriman yang siap
melayani, membantu, memberdayakan, berbagi segala kelebihan dan juga
kekurangan. BUkan tidak mungkin, ada saat di mana pendeta dan keluarga
memerlukan bantuan para tetangga : tolong lia-lia akang tu rumah …
Cara seperti
mencerminkan kokohnya iman kita. Tidak hanya mengkhotbahkan hidup rukun, damai
– tetapi terlebih lagi menyatakannya dalam hidup sehari-hari, dalam pergaulan
kemanusiaan tanpa pandang bulu, apalagi pandang enteng.
Kita bersukacita atas
tersedianya rumah pendeta ini. Tanda kedewasaan berorganisasi dalam bergereja.
Ini rumah jemaat, rumah kita semua melalui wakil kita Pdt. Cherly dan keluarga.
Semoga dari rumah ini,
pelayanan untuk terus membangun dan mengembangkan hidup beriman jemaat dapat
dialami oleh kita semua. Dan kiranya keluarga Porajow-Rantung merasa aman dan
bahagia berada di rumah ini. Semoga tidak akan ada lagi anak pendeta (yang
masih kecil) berkata begini “mama torang ini bukan batinggal di rumah, torang
ini ba tinggal di kamar” alias ba kontrak kamar.
Amin
Kakaskasen Tiga, 4 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar