Rabu, 30 November 2011

Yohanes 9 : 1-41

Renungan di Minggu Pra Paskah IV, 3 April 2011
Yohanes 9:1-41

Habis Gelap Terbitlah Terang dari dan di dalam Yesus

Salah satu tugas Gereja atau gereja-gereja ialah menyembuhkan bermacam-macam penyakit. Apapun jenis dan macam bahkan rupa penyakit itu (jasmani dan rohani) sama-sama menjadi perhatian Gereja yang adalah kawan sekerja Tuhan Allah di muka bumi ini sekarang ini. Gereja tidak hanya mengurusi hal-hal rohani yang tradisional seperti melayani ibadah seremonial dan pembinaan hal-hal menyangkut ajaran klasik dengan teologi yang belum transformatif kontekstual. Sementara itu masalah-masalah penyakit kontemporer seperti HIV/AIDS dan masalah-masalah sosial lainnya seperti trafficing dan kekerasan dalam rumah tangga, belum dilihat serius bahkan ada yang belum melihatnya sama sekali sebagai hal-hal yang harus segera ditanganinya. Tentu Gereja tidak dapat berjalan sendiri tanpa berkoordinasi dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait.

Syukurlah, di tengah kebelum-seriusan bahkan ketidakpeduliaan tadi, PGI bersama-sama dengan beberapa anggotanya (gereja-gereja) terus mensosialisasikan keberpihakannya kepada korban HIV/AIDS. Ini berarti sudah mulai terjadi perubahan paradigma bergereja yaitu tidak sebatas mengurusi atau melayani hal-hal ‘rohani’ saja. Bahkan lebih dari padanya, ada perubahan prinsip teologis dalam melihat kenyataan penyakit bukan sebagai akibat dari dosa (melawan kehendak Allah) dan karenanya bukan sebagai kutuk.

Kenyataan masa kini di atas, dapatlah kita bandingkan dengan kenyataan lain seperti yang kita baca dalam bagian Alkitab ini. Cerita tentang orang buta sejak lahirnya cukup panjang diuraikan. Ada pandangan pada masa itu yang menghubungkan antara dosa dan orang yang lahir buta. “Siapa yang berbuat dosa, orang buta itu sendiri atau orang tuanya?” demikian pertanyaan yang dilontarkan kepada Yesus oleh para murid-Nya. Jawaban Yesus di luar dugaan. Buta sejak lahir tidak ada kaitannya dengan keberdosaan seseorang. Hal ini terjadi karena kehendak atau pekerjaan/karya Allah bagi anak itu terutama dan tentu juga bagi orang tuanya. Oleh karena itu, maka atas kehendak –Nya pula maka orang yang buta ini kemudian dapat melihat. Cara Allah memelekkan mata orang ini cukup jelas dituliskan. Kenyataan buta menjadi tidak buta bukan dengan cara berdoa semalam suntuk atau melalui hipnotis dengan label ‘dunamis’ seperti yang dipraktekkan dalam kegiatan-kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani, melainkan dengan pengobatan alamiah : mengaduk ludah dengan tanah, mengoleskannya pada mata orang buta, kemudian orang itu disuruh untuk membasuh dirinya ke kolam Siloam. Sesudah itu, matanya terbuka. Jadi Yesus sendiri menggunakan alam ciptaan sebagai sarana menciptakan suatu hal yang sama sekali baru : dari tidak melihat dapat melihat, dari gelap menjadi terang, dari suasana lama ke suasana baru, dari ketidakadaan harapan berpengharapan, dari hidup masa bodoh menjadi bergairah. Pendek kata Yesus berkuasa untuk mengubah apa yang tidak dapat diubah oleh manusia, Yesus memungkinkan apa yang tidak mungkin. Yesus melakukan ini pada hari Sabat, yang oleh masyarakat beragama pada waktu itu tidak membolehkan orang berkerja termasuk menyembuhkan. Dia itu pemilik atas segala yang tercipta dan terus menerus mencipta : Ia masih terus bekerja sampai sekarang. Dalam Dia hidup manusia yang ‘terpuruk’ oleh masyarakatnya sendiri diubah menjadi hidup yang berfungsi dan berarti serta menjadi berkat. Bagi Yesus berbuat baik apalagi memelekkan mata orang buta sejak lahir dapat dilakukan kapan saja termasuk pada hari Sabat. Tentu, kita semua teringat akan ungkapan Ia itu “Tuhan atas hari Sabat.”

Segi lain yang menarik untuk kita ingat bahwa Tuhan tidak meminta orang percaya dulu baru ‘mujizat’ itu terjadi, melainkan sebaliknya sesudah terjadi mujizat itu baru kemudian Yesus bertanya:”Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Orang buta itu belum tahu sebelumnya siapa yang memelekkan matanya. Nanti sesudah terjadi dialog antara keduanya, maka semua menjadi jelas. “Aku percaya, Tuhan!”, demikian jawabnya. Orang yang matanya tidak buta lagi mengenal dan menjadi percaya kepada si pembuat mujizat itu. Dialah Yesus.

Di minggu pra Paskah IV ini, kita mengingat Yesus yang menderita sengsara karena a.l. ada salah pandang dari masyarakat beragama pada masa itu tentang keberadaan dan karya Yesus. Dalam iman kita meyakini bahwa kesengsaraan-Nya membawa keselamatan kepada semua orang bahkan semua ciptaan. Gereja diingatkan akan visi keselamatan dari dan dalam Yesus yang menderita untuk kemudian dilanjutkan/dilakukan (misi) pertama-tama bagi mereka yang mengalami penderitaan dan yang menjadi korban kejahatan zaman. Habis gelap terbitlah terang dari dan di dalam Yesus, Juruselamat dunia. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar